Sejarah Sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Negeri, SMP Negeri dan SMEA Negeri 16
Dulu saya tidak didaftarkan di Sekolah Dasar oleh orang tua saya, terutama Ibu, beliau mendaftarkan ke Madrasah Ibtidaiyah dengan harapan anaknya bisa belajar Ilmu Agama Islam lebih mendalam lagi, sayapun didaftarkan di Sekoah Madrasah Sore. Kalau pagi saya sekolah madrasah yang pelajarannya tidak ful tentang Agama Islam tapi ada pelajaran umumnya (PMP dan lainnya). Sedangkan madrasah sore pelajarannya khusus tentang Agama Islam, antara lain : Sejarah Islam, Ibadah Syariah, Thoharoh, Tajwid dan yang lainnya.
Sungguh masa-masa yang penuh keceriaan saat sekolah madrasah, baik pagi ataupun sorenya. Teman kelas sekolah madrasah pagi, ada yang bareng sekolah madrasah sore, tapi lebih sedikit yang ikut sekolah madrasah sore. Sekolah madrasah pagi alhamdulillah sampai lulus Kelas VI dengan nilai yang memuaskan, karena saya bisa masuk SMP Negeri hanya dengan modal NEM, sedangkan teman ada yang dibantu dengan "uang sogok". Sekolah Madrasah tempat dulu sekolah sejarah menjadi negeri saya tidak tahu persis, tapi pas melihat Raport dan Ijazah ada embel-embel negerinya.
Saat sekolah madrasah pagi dulu pernah mendapat beasiswa, saya dan Siti Maesaroh, saat itu Kepala Sekolah mengajak ke Kota Cirebon dan sampai di suatu gedung cukup luas. Sebelum masuk ke gedung kami diajak makan di sebuah rumah makan, entah apa namanya, warteg atau warung padang. Yang jelas kami disuruh milih menu yang begitu banyak, terus terang saat itu bingung milih yang mana, sebab baru pertama kali diajak makan di warung makan. Pilih ayam apa telor atau tahu-tempe. Lalu saya tanya teman, kata dia terserah. Sayapun memilih salah satu menu, tapi lupa apa. Setelah Kepala Sekolah selesai dengan makannya dan mengajak kami masuk ke gedung. Di dalam gedung sudah dipenuhi para undangan. Setelah menanti beberapa lama, nama kami dan asal sekolahpun dipanggil, diwakili Kepala Sekolah untuk menerima sebuah amplop putih. Kami tidak tahu berapa jumlah uang yang ada di dalamnya, tapi seingat pendengaran saat itu adalah sekitar Rp.150.000/Rp.100.000-an.
Setelah selesai acara tersebut kamipun pulang, sesampai di desa kami berpisah dengan Kepala Sekolah. Saya dan teman saya kebetulan searah, dan kamipun berjalan beriringan, begitu sampai di gang arah kerumah kamipun berpisah, saya belok dan teman saya lurus meneruskan perjalanannya. Sampai sekarangpun saya tidak tahu persis dimana letak gedung dan nama jalannya. Maklum saat itu saya tidak pernah diajak jalan ke kota. Begitu sampai dirumah sayapun disambut Ibu dengan wajah ceria. Ibupun bertanya : "Gimana anakku tadi disana?" Sayapun menjawab:"Alhamdulillah lancar, bu". Ibu menawarkan makan, tapi saya jawab sudah tadi disana makan. Lalu sayapun cerita saat bingung milih menu makan, Ibu hanya tersenyum. Keesokan harinya Ibu memberitahu bahwa tadi dianterin amplop yang isinya uang dari sekolahan, uang beasiswa, entah berapa persis jumlahnya.
Ada kejadian menghebohkan di kelas, saat sedang serius belajar. Tiba-tiba saya mencium bau yang menyengat. Lalu saya pun berkomentar, "Bau apa nih?" Teman ada yang jawab, "Bau kentut nih". Sayapun membalas, "Bukan... bukan kentut, ini mah bau 'ee'...". Saat menengok ke arah kiri, disitu teman saya yang badannya bongsor, si Jalil, namanya, dia tampak berkeringat dan salah tingkah. Kebetulan dia duduk sendirian. Kemudian saya lihat ke bawah bangkunya, terlihat basah dan sayapun mencium bau lagi. Lalu saya menunjuk dia, "Kamu ... 'ee' ya..!" Pak gurupun mendekatinya, dan kami disuruh keluar untuk ramai-ramai mengepel kelas, kemudian si Jalil tersebut disuruh keluar untuk membersihkan diri. Kebetulan di depan sekolahan ada taman Balai Desa yang ada air mancurnya, dan si Jalil pun berendam disitu membersihkan diri. Teman-teman kelas mengolok-olok dia. Teman lainnya dan orang lain pun menengok ke arah ramainya sorak sorai teman.
Sayapun pernah mengalami yang orang bilang cinta monyet. Ada teman, Siti Maesaroh, yang cantik berambut panjang dan berkulit putih. Diam-diam saya menyukai dia dan tanpa sadar ada teman yang memergoki rasa suka saya terhadap dia. Saya pun sering diolok-olok. Kadang saya sengaja main ke daerah rumah si Siti Maesaroh di Blok Kidul (kami menyebutnya) dan kebetulan juga sebagian besar teman sekelas lokasi rumahnya sekitar situ. Kami sering berlatih bola di tanah lapang dipinggir pemakaman dekat situ, ada pohon tinggi besar 2 buah yang berbuah berwarna hijau dan rasanya agak asam, namun orang-orang suka dengan rasanya dan bahkan mereka berebutan memetiknya, termasuk saya. Tidak tahu persis nama secara pasti buah tersebut.
Teman-teman sekelas di madrasah dulu rata-rata sudah menikah dan mempunyai momongan lebih dulu daripada saya saat saya pergi merantau ke Jakarta. Maklumlah mereka kan tidak kemana-mana dan ada bagusnya untuk menghindari terjadinya hubungan seks sebelum waktunya.
Saat masih tinggal di desa dulu saya punya langganan tukang potong rambut, seorang yang bernama Ibu Carmi, dia adalah Ibu dari teman sekelas yang kakak-adik. Beliaulah tukang potong rambut yang setia memangkas rambut kalau sudah mulai gondrong ini, sampai masa Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA Negeri), kalau sekarang disebut SMK. Padahal ada tukang potong rambut seorang Bapak, tapi entah kenapa saya lebih memilih Ibu Carmi tersebut dengan potongan rambut yang tidak pernah berubah sampai sekarang.
Ketika ada pengumuman perubahan sistem memasuki ke jenjang Sekolah Menegah Pertama, yang sebelumnya dengan sistem ikut test, berubah menjadi dengan sistem Nilai Ebta Murni (NEM). Itu saat pertama kalinya sistem diberlakukan dan sempat menjadi deg deg plas, ada rasa takut gagal mendapat nilai yang disyaratkan untuk masuk ke SMP. Tapi Alhamdulillah walau nilai NEM hanya 24 koma sekian, saya bisa lulus masuk SMP Negeri Karang Sembung, dimana orang-orang sangat menginginkan bisa masuk di sekolah negeri.
Saat masuk sekolah SMP tersebut mulai merasakan perjuangan dalam hal ongkos sekolah, karena jarak dari rumah ke sekolahan ada sekitar 4-5km. Orang tua hanya bisa membekali Rp.100,- dan saya pun memutar otak bagaimana dengan bekal seadanya itu. Jika berangkat naik dokar / delman / andong atau tidak ada tebengan, maka siap-siap pulang sekolah nanti mencari tumpangan / tebengan, jik tidak ada maka siap dengan jalan terakhir yaitu jalan kali dari sekolahan yang berjarak 4-5km menuju rumah. Alhamdulillah saya bukan orang yang manja dan tidak pernah terpikir atau mengeluh dengan perjuangan seperti ini. Pokoknya yang penting uang SPP sekolah bisa dibayar, masalah ongkos sekolah apalagi uang jajan tidak pernah ada protes kepada orang tua.
Selama sekolah dulu tidak pernah kenal yang namanya sarapan, saat berangkat sekolah tidak pernah terpikir masalah uang jajan. Ketemu nasi hanya saat sampai kembali pulang kerumah. Namun namanya perut kadang tidak bisa dibohongi, lapar ya lapar. Kadang teman ada yang berbaik hati mau membagi uang jajan atau menawari beli jajanan. Pernah satu kali saya melakukan kecurangan saat ikut jajan dikantin sekolah, istilahnya yang terkenal adalah DarMaJi (dahar 5 ngaku 1 = makan 5 ngaku satu). Sampai sekarang saya masih teringat dosa kecurangan itu. Entah masih ada apa tidak si mamang yang jualan jajanan di SMP itu.
Ada teman yang baik hati, dia bendahara kelas, saat kelas II SMP bernama Dede. Dia dari keluarga China yang tinggal di daerah Sindang Laut, sebelah Barat-Utara dari sekolahan. Dia yang memegang catatan uang koran Pikiran Rakyat, entah kenapa Guru Bahasa Indonesia mewajibkan kami membeli koran itu. Pernah saat saya punya tagihan uang koran, entah berapa kali belum saya bayar, dibayar oleh si Dede itu. Sungguh berterimakasih saya saat itu kepada dia dan sungguh baik dia. Semoga dia sukses dalam hidupnya.
Saat kelas I SMP pun saya punya cerita cinta terpendam. Saat dikenalkan dengan seorang teman bernama Ade Kurniawati beralamat di Desa Curug, anak seorang Bos Es Batu balokan. Sampai sekarang ternyata es balokan tetap laku. Pulang pergi sekolah saya melewati rumah dimana dia tinggal, bahkan kadang teman saya suka mengajaknya main ke rumah teman, si Dedi, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah si Ade itu. Tapi ada hal yang tidak saya sadari saat itu, entah karena saya ada rasa suka sama si Ade, sering saya disuruh membawa tasnya dia. Bahkan ada teman yang berkomentar, "Ih kamu kok mau aza disuruh bawa tasnya dia". Saat itu saya tidak pernah berfikir yang lain, yang ada hanya berfikir demi si dia yang aku suka (prett). Saking sukanya sama dia, akhirnya saya membuat prasasti di radio dirumah, saya buat tulis nama Ade Kurniawati di radio itu. Mungkin Ibu dan kakak tidak ada yang tahu hal ini saat itu, karena tulisan itu dibuat di depan bagian radio berbahan alumunium yang berpori, jadi tidak akan ada yang menyadarinya. Radionya bermerek Telesonic, entah kemana itu radio sekarang.
Sayapun punya idola baru saat memasuki kelas II, dia adalah anaknya Kepala Sekolah, bernama Yusi. Dia berambut keribu, kulit putih bersih dan selalu didampingi temannya, bernama Imas. Entah kapan mulai saya suka sama dia. Suatu saat saya pernah membuat satu tulisan di papan tulis di kelas, yang isinya tentang dia dan teman cowoknya (Ketua Kelas). Mungkin karena rasa cemburu yang tidak jelas yang dirasa dalam hati ini. Akhirnya mereka tahu siapa yang menulis karena ada yang memergoki saat saya menulisnya. Maka kepada cowok-cowok jangan pernah memendam rasa suka tanpa pernah menungkapkan kepada yang bersangkutan. Ungkapkanlah dan tunjukkan bahwa cowok adalah benar-benar jantan, tidak pengecut.
Saat memasuki Kelas III, sayapun mempunyai teman yang berbeda lagi, karena tiap naik kelas pasti teman-temannya akan berganti dan kelas pun pindah-pindah. Saat kelas III saya dipertemukan kembali dengan Ade Kurniawati tapi beda kelas, bersebelahan, saya kelas B dia kelas A. Saat itu ternyata dia sudah punya pacar, yaitu Ketua Kelas waktu di kelas II si Hendri yang berpostur tinggi, berambut hitam ikal dan berkumis, dan lebih ganteng dari saya... hehehehehe. Suatu saat saya tidak sengaja ikut ngumpul ketika mereka ngumpul dengan teman-temannya. Sayapun ikut berdiri didekat jendela di kelas mereka dan bersebelahan dengan si Ade, kami pun bertatapan dan tanpa disadari hal ini diperhatikan oleh si Hendri. Sayapun menyadari hal itu dan tanpa menunda-nunda langsung pamitan masuk kelas. Kabar terakhir mereka menikah dan sudah punya momongan. Alhamdulillah.
Akhirnya saat ujian ahirpun tiba, kembali ada perasaan deg deg plas takut nilai NEM nya tidak bagus. Hari pertama dilewati, hari kedua dilewati dan akhirnya hari terahkir dilewati. Kemudian kamipun menunggu hasil pengumuman. Saat mengecek hasil pengumuman sedikit ada keraguan lulus atau tidak. Namun saat melihat daftar nama, Alhamdulillah ada namanya dan lulus. Saat pembagian amplop yang berisi NEM, hati ini berasa tidak karuan, tapi dengan Bismillah... dibuka... ternyata nilainya 37 koma sekian. Alhamdulillah. Selanjutnya mencari informasi sekolahan yang kira-kira bisa menerima dengan NEM 37 itu. Sayapun mencoba daftar di SMEA Negeri yang berdasarkan informasi bisa menerima dengan nilai sejumlah itu. Saat pengumuman penerimaan di SMEA pun tiba, dan ternyata diterima.... Alhamdulillah. Sayapun diterima di SMEA Kelas Akuntansi I.
Sudah menjadi keharusan kalau tiap sekolah saat penerimaan murid baru diadakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila). Sayapun mengikutinya selama 1 Minggu dengan berseragam asal sekolah lengkap. Jika ada yang tidak lengkap, badge atau emblem dan yang lainnya, maka kami akan kena sanksi atau hukuman. Pernah satu kali saat baju seragam kotor dan tidak ada gantinya, saya memakai baju putih berlengan panjang. Saya dan dengan teman lainnya disidang. Sempat ada perasaan bakal tidak diterima di SMEA tersebut. Tapi saat ahir P4, Hari Senin, kami megadakan apel bendera. Saat diumumkan The Best 10 siswa pilihan, nama saya disebut, betapa kagetnya dan gembira hati ini, sayapun maju tampil berbaris dengan teman lainnya yang sudah dipanggil terlebih dulu. Urutan saat itu saya dipanggil diurutan 7 The Best 10. Bangga juga saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar